Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta
Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
1. Hak cipta merupakan hak ekslusif bagi pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Pasal 72 :
1. Barangsiapa sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Berdiri di
bawah terangnya lampu yang berada di dalam stasiun. Jarum pada jam yang
melingkar di pergelangan tangan kiri ku tepat tertuju pada angka 8. Suasana
stasiun sunyi, sepi. Hanya hembusan angin yang menemaniku malam itu, dan sesekali
ku dengar suara pemberitahuan kereta api yang masih terngiang-ngiang di
telingaku. Aku menghembuskan nafas dan menebar pandangan ke sekelilingku. Hanya
tinggal aku sendiri di bawah lampu ini, dan terlihat beberapa orang yang ku
tafsir usianya hampir mencapai lima puluh duduk di tempat penantian kereta.
Sudah hampir
dua jam aku berdiri di sini. Bukan karena kareta yang ku tunggu tak kunjung datang,
tetapi, setiap kali kereta itu tepat berhenti di hadapanku, nampaknya aku akan
sulit bernafas jika memaksakan diri untuk naik ke dalamnya. Jadi, ku putuskan
untuk menunggu kereta selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya, sampai keadaan
stasiun seperti sekarang ini. Ini adalah menit ke tiga puluh dari keberangkatan
kereta terakhir. Aku menghela nafas dengan dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Drrrrrt
drrrrt drrrrt drrrrrtttt”
Getaran
handphone menyadarkan aku dari lamunanku. Segara ku ambil handphone dari dalam
tas yang ku kaitkan di pundak kanan dan mendapati sebuah nama yang tertera di
layar tersebut.
“Ha, ha,
hallo” Sapaku terbata-bata.
“Apa kau percaya takdir, Ana ?” Suara laki-laki di seberang sana membuat aku
mengkerutkan kening.
“Ummm, ya. Kenapa ?” Kini aku berjalan menuju kursi panjang yang berada tidak
jauh dari tempatku berdiri.
“Berarti kau percaya bahwa aku dan kamu tidak akan pernah bisa terpisahkan”
Aku terdiam. Memikirkan apa maksud dari perkataan lawan bicaraku ini.
“Sampai kapan kau akan berada di sana ? Sudah ku bilang, tetaplah tinggal
disini. Bersamaku, Ana”
Spontan aku menggelengkan kepalaku dengan cepat. Meskipun aku tahu, dia tidak
dapat meilhatnya.
“Dan sudah berapa kali aku bilang bahwa aku tidak mencintaimu, Airel !” Nada
bicaraku kini naik satu oktaf.
“Aku juga sudah bilang, kalau kau itu adalah jodohku. Kau tidak bisa
menolaknya” Nada bicaranya tetap tenang tapi kini seperti sedikit diiringi tawa
yang menyindir
“Stop berbicara apa yang pernah kau bilang ! Aku tidak mau lagi mendengarnya !
Dan satu lagi, berhentilah bersikap seperti ini ! Semua yang kau ingin, tidak
selamanya akan kau dapatkan !” Aku langsung menyentuh symbol berwarna merah
pada layar handphoneku dan segera memasukkannya ke dalam tas setelah berhasil
mematikannya.
“Hfffffh.
Darimana dia tahu bahwa aku masih berada di sini ?” Aku memejamkan mataku dan
menyandarkan kepalaku ke sandaran bangku panjang yang aku duduki.
“…..”
“Pulanglah Ana. Tempatmu di sini. Bersamaku. Selamanya.”
Aku membuka mataku perlahan, dia berdiri di hadapanku. Untuk apa dia kesini ?
“Mau apa lagi kau, Airel ?! Apa surat permintaan ceraiku itu tidak cukup ?!
Apalagi maumu ?!” Bentakku dengan cukup kencang, tetapi laki-laki yang berdiri
di hadapanku ini tetap tersenyum.
“Kau” Jawabnya singkat tanpa menghilangkan lengkungan di wajahnya itu.
Aku menggeram pelan dan menatap matanya dengan tajam.
“Pulanglah, Ana. Kembalilah padaku” Kini laki-laki itu mengulurkan satu
tangannya ke arahku yang dengan cepat dapat ku tangkis.
“Stop, Airel, stop !!! Berhenti memohon seperti itu ! Aku bukanlah untukmu !
Carilah kebahagiaanmu sendiri ! Dan aku pun akan mencari kebahagiaanku sendiri
!” kini air mataku mulai mengalir membasahi pipiku.
“Kebahagiaanku adalah bersamamu.” Jawabnya datar. Seketika senyumnya
menghilang.
“Aku mohon Airel, berhenti bersikap seperti anak kecil ! yang apa-apa harus
dituruti” Air mataku terus mengalir bahkan kini semakin deras.
“Hssssh. Jangan menangis seperti ini, Ana. Aku tidak kuat melihatnya. Lagipula,
siapa yang bersikap seperti anak kecil ? Aku hanya tidak ingin membuatmu
menyesal karena telah mengambil keputusan yang salah. Karena aku sangat yakin
bahwa kita ditakdirkan untuk bersama selamanya.” Jelasnya panjang lebar sambil
mengusap keningku. Dia berhasil membawaku ke pelukannya karena kini dia duduk
tepat berada disampingku. Tapi jujur, ini adalah salah satu hal yang memberatkan
ku untuk pergi. Kehangatan yang dia berikan dalam dekapan selalu dapat
menenangkanku dalam situasi apapun. Aku akui itu.
“Kenapa kau sangat yakin bahwa kita ditakdirkan untuk bersama selamanya ?
Pernikahan ini ada karena perjodohan. Dan kita belum saling mengenal
sebelumnya” aku makin membenamkan wajahku di dadanya yang bidang.
Dia mengangguk. Senyuman itu kembali nampak di wajahnya,
“Aku tahu itu. Aku juga baru menyadarinya beberapa minggu ini. Awalnya, aku
juga menolak keras perjodohan itu. Dengan alasan, yaaa sama sepertimu. Pada
saat itu aku tidak mengenalmu, bahkan posisiku saat itu aku sudah mempunyai
seorang pacar yang niatnya akan ku perkenalkan kepada kedua orang tuaku dalam
waktu dekat.” Aku mendongakkan wajahku untuk menatap wajahnya. Dia bercerita
dengan sangat serius. Pandangannya lurus ke depan seoalah sedang memutar
kembali ingatannya satu tahun lalu.
“Sudah tau punya pacar, kenapa kau tidak menolak perjodohan ini dan menikah
dengan pacarmu itu ?! Dasar bodoh.” Aku kembali membenamkan wajahku.
Dia mengangkat bahunya dan tersenyum simpul.
“Aku juga tidak tahu. Sepertinya Tuhan memang menginginkan kita bersama. Sa …”
“Jangan mulai lagi, Airel !” Aku mencubit lengannya dengan wajah yang masih ku
benamkan dalam dekapannya.
“Jangan suka memotong pembicaraan orang lain ! Itu tidak sopan !” Dia mencubit
hidungku pelan yang dibalas dengan anggukan olehku.
“Saat itu aku menolak keras perjodohan itu dan tetap ingin memperkenalkan
Firyal kepada kedua orang tuaku. Tapi ….”
“Oooooh, jadi namanya Firyal” Aku menganggung-ngangguk dalam dekapan Airel.
“Ck. Sudah ku bilang jangan suka memotong pembicaraan orang lain, isteriku … !”
Ujarnya lembut sambil memainkan rambutku.
“……”
Suasana seketika menjadi hening. Aku terhenyak. Kami sibuk dengan fikiran kami masing-masing.
“Isteriku.” Ucapku dalam hati. Aku adalah isterinya. Yaaa, aku adalah
isterinya, dan dia adalah suamiku. Kami telah terikat dalam suatu ikatan suci,
yaitu pernikahan. Dia bersikap baik kepadaku layaknya suami kepada isterinya selama
satu tahun pernikahan kami. Meski aku tahu, dia tidak mencintaiku. Tapi, dia
menghargai pernikahan ini. Ikatan suci ini. Apapun alasan kami menikah, kini
kami sudah terikat pada suatu ikatan suci. Dan seharusnya aku harus bisa
mempertahankan semua itu. Ini adalah takdir yang dituliskan-Nya untukku dan
Airel. Yaaa. Aku percaya takdir. Seharusnya aku tidak bersikap seperti ini.
Ooooh. Ternyata aku yang bersikap seperti anak kecil. Menghindar dan lari dari
sebuah masalah. Bukan menghadapinya dengan dewasa. Aku malah membiarkan Airel,
suamiku ini menghadapi semuanya sendirian. Padahal ini juga bukan kemauannya.
Bukan kemauan kami. Tapi dia bisa menyikapi semuanya dengan tenang dan seolah
semuanya baik-baik saja. Salut.
“Tapi, seperti yang aku bilang tadi. Sepertinya Tuhan memang meninginkan kau
dan aku untuk bersama. Sehari sebelum aku memperkenalkan Firyal kepada kedua
orang tuaku, aku tiba-tiba hilang contact dengannya. Dia tidak dapat dihubungi.
Saat aku datang ke rumahnya pun aku tidak mendapati dia di sana. Rumahnya
kosong. Aku sangat pusing, saat itu. Bingung apa yang harus aku lakukan.
Akhirnya aku meng-iya-kan perjodohan ini.” Pandangannya tetap sama.
“Jadi, kau menikah dengan ku karena terpaksa, hah ?” Tanyanyaku dengan nada
manja.
Dia tertawa. Aku mendongakkan wajahku. Ternyata suamiku ini sangat tampan,
dengan alisnya yang tebal, senyum yang manis.hmmm
“Dia sempurna, Tuhan.” Ujarku pelan.
Dia berhenti tertawa, sepertinya dia mendengar ucapanku. Oh my god. Apa yang
sudah aku katakan ? Aku berani bertaruh, sebentar lagi dia akan membangga-banggakan
dirinya sendiri.
Dia menatapku. Semenit. Dua menit. Tiga menit. Sampai di menit ke sepuluh, dia
membuka suaranya.
“Kau pun sempurna, Ana” Aku kembali menatapnya. Jantung ini berdetak tidak
seperti biasanya. Ada apa dengan ku ? Apa aku mulai mencintai laki-laki yang
sedang memelukku
ini ? Rupanya aku mulai mencitai suamiku. Lebih tepatnya, aku mulai menyadari
perasaan itu.
“Berhenti menatapku dengan tatapan memuji seperti itu, Ana ! Aku tahu aku
tampan, baik hati, ti …”
Aku mengecup bibirnya singkat dan berhasil membuatnya menghentikan ucapannya
yang membuatku muak itu. Apa aku bilang ?
“Aku mencintaimu, Rey Airel Sham”
Tatapan kami bertemu. Kami tidak pernah seperti ini sebelumnya. Meskipun kami
telah menikah, tapi aku tidak pernah berada dalam pelukannya seperti ini. Tidur
pun kami tidak pernah bersama. Dia mengalah untuk tidur di sofa kamar,
sedangkan aku tidur di tempat tidur. Dia sangat baik. Dan aku akan meninggalkan
laki-laki sebaik ini ? Oh Tuhan. Aku hampir saja melepas malaikatku.
“Aku lebih mencintaimu, Citra Sahanaya” Dia tersenyum, kemudia mencium keningku
dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Tapi aku menggeleng dengan cepat
“Mulai sekarang, nama panjangku Citra Sham.” Lontarku dengan gaya seperti
komandan yangs edang memerintah prajuritnya.
“Siapppp, nyonya Sham !” Laki-laki di hadapan ku ini berdiri dan menirukan gaya
prajurit yang sedang hormat kepada komandannya. Sikap tubuhnya dibuat tegak.
Dia lucu sekali.
“Aku ingin tidur dipelukanmu, boleh ?” Tanyaku dengan hati-hati.
“Suami macam apa aku jika tidak mengizinkan isterinya tidur dipelukannya ?”
Tawaku berhambur.
Aku pun tertidur di pelukannya. Rasanya aku ingin menghentikan waktu. Aku suka
suasana ini. Tetap seperti ini. Hanya ada aku dan dia, suamiku.Aku bersamanya.
“……”
“Maaf
nyonya, waktu sudah larut malam. Sudah tidak ada lagi kereta yang beroperasi.
Apa nyonya akan tidur di sini ?”
Suara laki-laki itu membangunkan ku dari tidurku. Dimana Airel ? Kenapa dia
meninggalkanku sendiri di sini ? Mataku menyapu seluruh sisi stasiun. Mencari
sosok yang sedang memelukku tadi. Sosok yang aku cintai. Tapi nihil. Aku tidak
menemukannya.
“Hmmmm, aku akan pulang. Terimakasih sudah membangunkanku” Ujarku kepada
laki-laki separu baya di hadapanku ini dan pergi meninggalkan stasiun.
“Ternyata tadi hanya mimpi.” Ujarku seraya berjalan menuju pintu keluar
stasiun.
Tapi, sepertinya aku benar-benar telah jatuh hati kepada Airel. Aku tidak ingin
meninggalkannya, mimpi itu telah menyadarkanku. Aku akan pulang. Kembali kepada
Airel, suamiku.” Aku mengehentikan ucapanku sejenak.
“Andai sajaa, mimpi tadi adalah nyata. Itu adalah momen terindah yang tidak
akan pernah aku lupakan seumur hidupku” Lanjutku pada diriku sendiri sambil
tersenyum malu.
“Nyonya Sham ?”
Aku menoleh dan mendapati sosok yang ku cari tadi. Sosok yang sabar menghadapiku
selama satu tahun ini. Sosok yang ternyata aku cintai. Dia berdiri di
belakangku sambil tersenyum manis ke arahku.
“Airel ?” Sapaku setengah tak percaya dan langsung memeluknya dengan erat.
“Kenapa kau meninggalkanku sendirian di dalam stasiun, bodoh ?!” Ujarku setelah
berhasil melepas pelukanku dengan Airel.
“Berhenti memanggilku bodoh, Ana ! Aku ini pintar !”
“Yayayaya, whatever ! Jawab pertanyaaku !” Jawabku dengan memberi tatapan
mengintrogerasi.
“Tadi kau tidur dengan sangat pulas. Aku tidak tega membangunkanmu untuk
mengajakmu ke parkiran. Apalagi aku memarkir mobilku di parkiran luar stasiun
karena parkiran di dalam stasiun tutup pukul tujuh malam. Jadi aku memutuskan
untuk mengambil mobil di parkiran luar dan memindahkannya ke depan stasiun.
Agar aku mudah membawamu ke mobil. Kau tahu kan, aku tidak cukup kuat untuk
meggendongmu terlalu jauh. Berat badanmu kannnn….”
“Apa ? Berat badanku kenapa, hahh ? Ayo lanjutkan kalimatmu !”
“Tidak, tidak papahhh” Dia terlihat menahan tawa dan tiba-tiba dia
menggendongku di atas pundaknya.
“Turunkan aku, Airel ! Aku bukan anak kecil !” Aku memuluk-mukul punggung Airel
agar dia menurunkanku dari pundaknya ini, tapi dia malah mengacuhkanku dan
terus berjalan menuju mobilnya.
Aku pasrah. Dia tetap saja tidak mendengarkanku. Dan aku harus mengikuti
caranya ini sampai ke mobil.
Cinta akan datang kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja. Sekuat apapun
kita menolaknya, jika takdir sudah dituliskan-Nya, kita bisa apa ? Ikuti saja
alurnya.
“Tumbuhkanlah cinta, bukan mencarinya.
Karena cinta ada untuk dirasakan”–Amelia Yahya–